Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan
yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah menduduki
Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak
meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh
Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah
menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa
sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda
menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka
berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis
benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang
untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie),
sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan
antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis
lain seperti EIC (Inggris).
Untuk
mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain
meliputi :
-
Hak mencetak uang
-
Hak mengangkat dan
memberhentikan pegawai
-
Hak menyatakan perang
dan damai
-
Hak untuk membuat
angkatan bersenjata sendiri
-
Hak untuk membuat
perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai
“penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh
ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya
menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu
rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya
adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun
sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan
yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil
bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung
monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap
tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah
yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman
yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya
diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran
niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan
menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan
kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu
kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di
masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050
metrik ton.
Namun, berlawanan dengan kebijakan merkantilisme
Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru mengekspor perak ke
Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena selama belum ada hasil
produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi imbangan,ekspor perak itu
tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam jumlah besar sebagai alat
perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun 1870-an.
Pada
tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan
Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain
disebabkan oleh :
1. Peperangan
yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang
Diponegoro.
2. Penggunaan
tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
3. Korupsi
yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
4. Pembagian
dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit.
Maka,
VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek).
Republik
Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena
peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon),
kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat
ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat
oleh blokade Inggris di Eropa.
Sebelum
republik Bataaf mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia
Belanda.
Pendudukan Inggris
(1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang
telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent
(pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles
mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan
landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk
Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang
menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya,
tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Sesuai dengan
teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang berkembang di Eropa, antara lain
:
-
Pendapat Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang
menghasilkan benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak
produktif menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan
ekonomi. Dalam hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat
kemakmurannya, agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah
surplus (melebihi permintaan).
-
Pendapat Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar
bagi produk yang dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap
hasil produksi.
-
The quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga
dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam
perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir
kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya
antara lain :
1.
Masyarakat Hindia
Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk
menghitung luas tanah yang kena pajak.
2.
Pegawai pengukur tanah
dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
3.
Kebijakan ini kurang
didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi
jabatan secara turun-temurun.
Referensi
:
No comments:
Post a Comment