KEPALITAN
Kepailitan merupakan
suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk
membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah
pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya,
Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
Peraturan
Perundangan Mengenai Kepailitan
Sejarah perundang – undangan
kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu sejak 1906,
sejak berlakunya “Verordening op het Faillissment en Surceance van Betaling
voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217
jo. Staadblads 1906 No. 348 Fallissementverordening.[1] Pada
tanggal 20 April 1998, pemerintah telah menetapkan Peraturan Perundangan
Pemerintah Pengganti Undang – Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang – Undang tentang Kepailitan yang kemudian disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat menjadi Undang – Undang, yaitu Undang – Undang No. 4 Tahun
1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan
atas Undang – Undang tentang Kepailitan tanggal 9 September 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135).
Pihak yang
Dapat Mengajukan Pailit
·
Atas
permohonan debitur sendiri
·
Atas
permintaan seorang atau lebih kreditur
·
Kejaksaan
atas kepentingan umum
·
Bank
Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
·
Badan
Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
Syarat
Yuridis Pengajuan Pailit
·
Adanya
hutang
·
Minimal satu
hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
·
Adanya
debitur
·
Adanya kreditur
(lebih dari satu kreditur)
·
Permohonan
pernyataan pailit
·
Pernyataan
pailit oleh Pengadilan Niaga
Langkah-Langkah
dalam Proses Kepailitan
1. Permohonan pailit, syarat permohonan
pailit telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998, seperti apa yang telah ditulis di
atas.
2. Keputusan pailit berkekuatan tetap,
jangka waktu permohonan pailit sampai keputusan pailit berkekuatan tetap adalah
90 hari.
3. Rapat verifikasi, adalah rapat
pendaftaran utang – piutang, pada langkah ini dilakukan pendataan berupa jumlah
utang dan piutang yang dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap
yang paling penting dalam kepailitan karena akan ditentukan urutan pertimbangan
hak dari masing – masing kreditur.
4. Perdamaian, jika perdamaian diterima
maka proses kepailitan berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan ke proses
selanjutnya. Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan.
5. Homologasi akur, yaitu permintaan
pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika proses perdamaian diterima.
6. Insolvensi, yaitu suatu keadaan di
mana debitur dinyatakan benar – benar tidak mampu membayar, atau dengan kata
lain harta debitur lebih sedikit jumlah dengan hutangnya.
7. Pemberesan / likuidasi, yaitu
penjualan harta kekayaan debitur pailit, yang dibagikan kepada kreditur konkruen, setelah
dikurangi biaya – biaya.
8. Rehabilitasi, yaitu suatu usaha
pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi dengan catatan jika proses perdamaian
diterima, karena jika perdamaian ditolak maka rehabilitasi tidak ada.
9. Kepailitan berakhir.
Kasus Kepailitan Telkomsel yang putusannya
dijatuhkan di Pengadillan Negeri Jakarta Pusat pada Tahun 2012. Putusan ini
cukuk kontroversial karena tidak ada yang menduga bahwa perusahaan sebesar PT.
Telkomsel dapat dijatuhi putusan pailit. Apalagi mengingat bahwa PT. Telkomsel
merupakan salah satu operator telekomunikasi terbesar di Indonesia.
Salah satu masalah yang terjadi terhadap putusan
pailit PT. Telkomsel ialah mengenai fee kurator. PT. Telkomsel sebagai
salah perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, tersandung dengan
pembebanan fee kurator akibat dari putusan pailit yang ia terima. Awal
mula dari kasus ini ialah sejak Putusan Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat
No. 28/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 14 September 2012 yang menyatakan bahwa
Telkomsel dinyatakan pailit dan ditunjuk Tim Kurator yaitu Feri S.Samad, S.H.,
M.H., Edino Girsang, S.H., dan Mohamad Sadikin, S.H. namun berdasarkan
keberatan Telkomsel sehingga Mahkamah Agung memberikan Putusan Kasasi No.
704K/Pdt.Sus/2012 tanggal 21 November 2012 yang mana menyatakan batalnya pailit
Telkomsel. Kemudian PT. Prima Jaya Informatika mengajukan Peninjauan Kembali yang
ditolak oleh Mahkamah Agung dengan memberikan Putusan Nomor
30PK/Pdt.Sus.Pailit/2013 tanggal 13 Juli 2013.
Tim Kurator sendiri telah mengetahui kepailitan
Telkomsel berakhir berdasarkan putusan kasasi tanggal 21 November 2012 dengan
mengajukan permohonan untuk biaya kepailitan dan imbalan Jasa Kurator dengan
Surat No. 01/KUR-TLK/I/2012 tanggal 22 Januari 2013 yang pada pokoknya meminta
imbalan jasa Kurator proses kepailitan Telkomsel sebesar Rp 587.232.227.000,-.
Atas permohonan tersebut Pengadilan Niaga pada PN. Jakarta Pusat memberikan
Penetapan No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst Jo No. 704K/Pdt.Sus/2012 tanggal
31 Januari 2013 yang menetapkan imbalan jasa Kurator sebesar Rp 293
616.000.000,-dan dibebankan kepada Pemohon yaitu PT. Prima Jaya Informatika dan
Debitor yaitu PT. Telekomunikasi Selular masing-masing setengah bagian yaitu Rp
146.808.000.000,-. Adapun pertimbangan hakim adalah sebagai berikut:
- Bahwa tugas Kurator telah berakhir pada tanggal 10 Januari 2013 bersamaan dengan diterimanya Putusan Mahkamah Agung No. 704K/Pdt.Sus/2012 tahun 2012.
- Bahwa Majelis Haim Pemutus tidak sependapat dengan jumlah fee jasa Kurator yang diajukan oleh Kurator berdasarkan Surat Pemohonan No. 01/KUR-TLK/I/2013 tanggal 22 Januari 2013.
- Bahwa fee jasa Kurator yang layak adalah 0.5% dari aset Debitor sebesar Rp 58.723.227.000.000,- yaitu Rp 293.616.135.000,-.
- Majelis Hakim Pemutus sependapat dengan jumlah Biaya Kepailitan yang diajukan oleh Kurator berdasarkan surat permohonannya sebesar Rp 240.500.000,-.
Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Niaga tersebut
juga sesuai dengan Laporan Hakim Pengawas Kepailitan Telkomsel, dalam Surat
No.W.10.UI tanggal 25 Januari 2013 yang pada dasarnya memberikan pertimbangan
bahwa berdasarkan Laporan Akhir, Kurator telah menerima relaas Putusan Mahkamah
Agung No.704K/Pdt.Sus/2012 tanhu 2012 pada tanggal 10 Januari 2013, dengan
demikian secara yuridis tugas Kurator telah selesai tanggal 10 Januari 2013.
Namun, Telkomsel mengajukan Peninjauan Kembali
tentang fee Kurator tersebut. Tindakan PT. Telkomsel ini merujuk ke
pasal 24 UU No. 48 Tahun 2009
tentang
Kekuasaan Kehakiman. PT. Telkomsel berpandangan bahwa aturan yang digunakan
adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.1 Tahun 2013 tentang Imbalan Jasa
Kurator yang berlaku pada tanggal 11 Januari 2013. Dalam aturan Permenkumham
2013 pasal xx, seharusnya perhitungan fee kurator adalah berdasarkan
jumlah jam kerja dan bukan berdasarkan perhitungan presentase aset pailit. Jika
PK tersebut di kabulkan, maka PT. Telkomsel akan mendapatkan keuntungan karena
Permenkumham No. 1 Tahun 2013 membuat PT. Telkomsel bebas dari kewajiban
membayar imbalan jasa kurator, sebagaimana di Pasal 2 Angka 1 bagian c yaitu “dalam
hal permohonan pernyataan pailit ditolak di tingkat kasasi atau
peninjauan kembali, banyaknya imbalan ditetapkan oleh hakim dan dibebankan
kepada pemohon pernyataan pailit.”
Peninjauan Kembali mengenai fee Kurator PT.
Telkomsel pun dikabulkan. Pertimbangan dari dikabulkannya Peninjauan Kembali
itu ialah:
- Mahkamah Agung menilai peraturan yang dipakai seharusnya Permenkumham no. 1 tahun 2013, bukan Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 09-HT.05-10 Tahun 1998. Majelis hakim niaga dinilai keliru dalam menerapkan hukum yang menjadi dasar pedoman besarnya imbalan para kurator. Alasannya ialah Permenkumham itu lahir lebih dahulu daripada penetapan fee kurator.
- Mahkamah Agung menyatakan dala menentukan imbalan jasa pengurusan perkara PT. Telkomsel, kurator tidak merinci pekerjaan yang telah dilakukan. Selain itu, kurator tidak merinci tarif pekerjaan dan kemampuannya sehingga harus mendapat bayaran 1% dari aset Telkomsel. Begitu juga dengan majelis hakim Pengadilan Niaga yang tidak memberikan rincian untuk memutuskan mengabulk½%dariasetn Telkomsel.
PT. Telkomsel pada dasarnya membawa penetapan fee
kurator ini kepada Upaya Peninjauan Kembali karena Peraturan yang digunakan
untuk menetapkan fee kurator tersebut tidaklah semestinya yang diterapkan.
Putusan Peninjauan Kembali ini membawa keuntungan bagi PT. Telkomsel sebagai
debitor karena ia dibebaskan dari beban pembayaran fee kurator. Permenkumham
no. 1 tahun 2013 ini khususnya pasal 2 ayat (1) huruf C tidak sesuai dengan
Pasal 17 ayat (3) UUK-PKPU yang mana pembebanannya pada UUK-PKPU dibebani
kepada dua pilihan pihak yaitu (1) Pemohon Pernyataan Pailit saja, atau (2)
Pemohon Pernyataan Peilit dan Debitor dalam Perimbangan yang ditetapkan Majelis
Hakim. Ketentuan pasal 2 ayat (1) huruf C Permenkumham 1 tahun 2013 melanggar
UU yang lebih tinggi dan menimbulkan rasa ketidakadilan. Karena seharusnya di
posisi ini, Pemohon Pailit lah yang berusaha untuk menempuh jalur kepailitan
demi mendapatkan hak-nya kembali dari debitor. Apalagi pada kasus ini, jumlah
utang yang menjadi hak Pemohon Pailit jauh lebih kecil dibanding fee kurator
yang seharusnya ia bayar. Untungnya terhadap solusi atas pasal kontroversial di
Permenkumham 1 Tahun 2013 tersebut, yaitu Putusan No. 54/P/HUM/2013 tanggal 19
Desember 2013 yang menyatakan bahwa khusus pasal itu dibatalkan karena tidak
sesuai dengan keadilan serta tidak menempatkan Pemohon Pailit pada kedudukan
yang sesuai dengan porsinya. Maka, akan menjadi tugas bagi Menteri Hukum dan
HAM-lah untuk membuat peraturan yang memiliki kesesuaian dengan UUK-PKPU agar
permasalahan seperti ini tidak diketemukan lagi nantinya. Hal ini juga penting
agar mewujudkan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak dalam suatu
perkara kepailitan.
Kesimpulan
Mengenai Fee dari Kurator yang dikenakan kepada
pihak PT Telkomsel mengacu pada sandaran hukum lama yang mana sudah dinyatakan
tidak berlaku lagi karena keputusan Majelis Hakim keluar setelah terbitnya
Peraturan Kementrian Hukum dan HAM No. 1/2013.
Oleh karena itu, terdapat berbagai ketidakseraisan
antara pejabat hukum di Indonesia. Pengertian dari Utang, mengenai pengenaai
fee curator kepada pihak yang dipailitkan, penggunaan Insolvency test yang
dapat menentukan bahwa Perusahaan yang ingin dipailitkan harus dipailitkan
langsung atau melakukan penundaan pembayaran hutang, yang mana seharusnya hakim
melihat dari keseluruhan fakta baik dari saksi maupun dokumen-dokumen yang
memayungi kasus ini.
Sumber :